Beritawongrame - Warga Dusun Gora, Desa Buntu Mondong, Kecamatan Buntu Batu, Kabupaten Enkerang, Sulawesi Selatan, menemukan sembilan ekor katak dengan ukuran raksasa, sebesar ayam.
Warga menangkap katak yang dalam bahasa lokal disebut "Todan" itu di kebun sawah pinggiran Sungai Dantewwa, sungai sepanjang 10 kilometer di Enrekang yang melintasi Desa Buntu Mondong, Banca, dan Lunjen.
"Kita tangkap sembilan ekor, dua ekor yang paling besar beratnya 1,5 kg panjang 50 cm dan sisanya ukurannya sedang," kata Darussalam, warga yang ikut menangkap, kepada Tribun Enrekang.
Dia menjelaskan, katak raksasa itu memang terdapat dalam jumlah melimpah di wilayahnya. Menurutnya, katak itu endemik Latimojong. Kadang, warga bisa menangkap hingga 50 ekor.
Pria yang berprofesi sebagai pendamping PKH dinas sosial itu menambahkan, katak itu hanya bisa ditangkap saat malam karena selalu bersembunyi kala siang.
Bagi warga di sekitar desa tersebut sudah kerap kali menangkap todan dengan ukuran yang bahkan lebih besar.
"Sejak dari dulu sudah sering kita tangkap Todan ukuran segitu, jadi bukan hal yang baru bagi kami," kata seorang warga, Salam.
Menurutnya, warga setempat kerap menyantap daging katak tersebut.
"Biasanya daging katak tersebut digoreng ataupun dibakar dan disajikan dengan ballo (minuman tradisional sejenis tuak)," ujar Salam.
Dia menyebutkan, daging katak tersebut mirip tekstur jamur dan rasanya nikmat.
Katak tersebut merupakan endemic pegunungan Latimojong dan hanya bisa ditemukan di dua tempat yaitu Afrika dan Enrekang.
Karena kondisi alam di daerah tersebut masih alami dan memiliki suhu yang cocok dengan habitat katak tersebut.
Ahli amfibi dan reptil dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amir Hamidy, mengungkapkan, katak raksasa itu adalah cermin potensi fauna Nusantara.
"Ini salah satu potensi katak nusantara yang kita miliki dari Sulawesi," katanya saat dihubungi Kompas.com sebelumnya.
Menurutnya, katak itu merupakan jenis Limnonectes gruniens dan Limnonectes modestus. Jenis itu bisa memakan apapun yang ada di permukaan tanah, mulai tikus hingga burung.
Amir mengungkapkan, bila dikelola dan dibudidayakan, katak itu bisa dimanfaatkan untuk konsumsi sekaligus menjadi komoditas ekspor baru.
Indonesia merupakan pengekspor katak terbesar di dunia. "Yang kita ekspor kebanyakan adakah katak sawah jenis Fejervarya cancrivora," ungkap Amir.
Sayangnya, katak yang diekspor merupakan hasil eksploitasi langsung dari alam, bukan budidaya. Itu akan mengancam kelestarian.
Tantangan pemanfaatan katak adalah upaya budidayanya. Pada saat yang sama, Indonesia perlu mengidentifikasi potensi. Dengan sumber daya alam yang kaya, Indonesia saat ini malah mengimpor bullfrog.
Tidak ada komentar:
Write komentar