Suku Nias adalah sekelompok masyarakat asli yang mendiami gugusan pulau disebelah barat pulau Sumatera yang bernama pulau Nias. Secara kewilayahan pulau Nias saat ini dibawah teritorial Provinsi Sumatera Utara. Warga Suku Nias masih memelihara kebudayaan dan adat warisan nenek moyang mereka. Dalam suku ini diberlakukan peraturan hukum secara umum yang disebut juga dengan nama fondrako. Dimana fondrako ini lah yang mengatur seluruh aspek kehidupan suku Nias dari hidup sampai mati.
Dalam tata kehidupan bermasyarakat, Suku Nias juga mengenal sistem kasta (tingkatan). Masyarakat Nias dibagi menjadi 12 kasta. Yang tertinggi disebut Balugu. Untuk mencapai tingkatan Balugu ini, seseorang harus mampu mengadakan pesta besar-besaran dengan mengundang banyak orang serta menyembelih ribuan hewan ternak, terutama babi.
Suku Nias juga memiliki tradisi upacara unik yang diadakan setiap waktunya. Apa saja tradisi tersebut? Berikut ulasannya.
Tradisi Lompat Batu (Fahombo)
Tradisi lompat batu atau oleh masyarakat Nias disebut dengan Fahombo merupakan tradisi yang paling terkenal dari suku ini. Awalnya tradisi melompati batu besar ini dilakukan oleh seorang pria untuk membuktikan bahwa dirinya telah matang dan dewasa.
Terlebih lagi bagi pria yang berhasil melompati batu setinggi dua meter dan tebal 40 cm tersebut akan didapuk sebagai pembela desa jika saja terjadi konflik dengan desa lain.
Namun perlu anda ketahui tradisi ini tidak selalu ada di seluruh penjuru pulau Nias. Hanya ada di beberapa desa saja yang menyelenggarakannya. Tradisi Fahombo hanya boleh diikuti oleh laki-laki saja mengingat upacara ini membutuhkan kekuatan, kelincahan, dan ketangkasan tingkat tinggi khas lelaki jantan. Selain itu resiko upacara ini juga tergolong tinggi mengingat batu yang digunakan adalah batu sungguhan dan tanpa pengaman.
Saking bergengsinya upacara ini bagi warga Nias, setiap anak yang mampu melompati batu hanya dalam satu kali lompatan maka itu akan menjadi kebanggaan bagi dirinya sendiri maupun keluarganya. Tak jarang keluarga yang anaknya mampu melakukannya akan dirayakan dengan syukuran menyembelih hewan-hewan ternak.
Karena pentingnya gengsi dan kebanggaan yang akan diperoleh, tak heran anak-anak di Nias sudah terbiasa melakukan latihan dari umur 7-12 tahun. Dari mulai menggunakan permainan lompat tali, melompati kayu yang dibentangkan, sampai membuat batu tiruan upacara Fahombo. Latihan ini pun dilakukan bertahap, dari yang awalnya pendek dan semakin lama semakin tinggi menyerupai upacara aslinya. Mereka berlatih dengan penuh semangat demi gelar lelaki jantan yang nantinya akan diraih.
Meski begitu, ternyata latihan keras juga tidak menjamin seorang anak akan berhasil melewati upacara Fahombo. Banyak dari mereka yang gagal bahkan ada juga yang sampai mengalami patah tulang karena bagian tubuhnya tersangkut batu lompat ketika melakukan lompatan.
Tak jarang anak yang hanya melakukan beberapa kali latihan saja sudah langsung dapat melewati upacara ini. Konon, menurut penduduk setempat keberhasilan seorang anak laki-laki melewati Fahombo dipengaruhi oleh garis keturunan. Jika ayah atau kakeknya dulu adalah pelompat yang handal, maka kemungkinan besar anaknya juga dapat melakukan upacara ini dengan mudah.
Sebaliknya, jika kakek atau ayahnya dulu sulit menaklukan Fahombo, maka sang anak terpaksa dituntut untuk latihan lebih keras demi menyelesaikan upacara adat ini.
Upacara lompat batu Fahombo ini juga sering dikaitkan dengan hal-hal mistis oleh para penduduk setempat. Menurut mereka, anak yang baru berlatih melompati batu harus meminta izin kepada para roh dahulu, roh para pendahulu mereka yang telah meninggal dan pernah melompati batu tersebut.
Hal ini bertujuan agar saat seorang anak melompati batu, tidak terjadi kecelakaan yang diinginkan. Baik saat melompat dan berada diatas batu, maupun saat mendarat. Meski begitu, nyatanya masih ada anak laki-laki yang gagal melewati upacara ini dan berakibat serius pada tulang mereka.
Dan alasan mengapa seorang anak yang berhasil melewati upacara ini akan dijadikan prajurit desa adalah karena saat peperangan antar desa atau sedang konflik, para prajurit diharapkan dapat dengan mudah melompat pagar dan benteng-benteng yang telah dibuat di desa-desa tersebut saat dikejar oleh lawan.
Tari Perang (Foluaya)
Tari Perang adalah lambang kesatria dari suku Nias. Jadi dahulu saat terjadi perang antar suku, para prajurit suku Nias menjaga daerah mereka masing-masing dengan melakukan semacam ronda malam yang mereka sebut dengan Fana’a.
Fana’a ini bertujuan untuk melindungi desa dari musuh yang mengendap-endap di malam hari. Saat terdeteksi ada musuh yang hendak menyerang, para prajurit akan memanggil prajurit lain untuk bersama-sama menyerang musuh. Mereka akan ramai-ramai menyerang dan menangkap musuh yang datang.
Setelah musuh itu tertangkap, selanjutnya kepalanya akan dipenggal untuk dipersembahkan kepada Raja. Persembahan ini disebut juga dengan Binu. Lalu Raja akan menyambut prajuritnya dengan penuh suka cita. Para prajurit juga melakukan tarian perang dan berteriak semangat dalam proses persemnahan tersebut.
Raja yang merasa senang akan mempersembahkan Rai (mahkota) untuk panglima perang. Tak hanya itu, para prajurit juga diberi emas beku sebagai hadiah telah membunuh musuh.
Namun, sekarang tarian ini sudah tidak dilakukan lagi pasca peperangan mengingat sudah tidak ada lagi perang antar suku yang terjadi di Nias. Mereka hanya melakukannya pada hari-hari tertentu, pada saat ada acara besar, atau sedang melakukan penyambutan tamu terhormat.
Tari Perang adalah lambang kesatria dari suku Nias. Jadi dahulu saat terjadi perang antar suku, para prajurit suku Nias menjaga daerah mereka masing-masing dengan melakukan semacam ronda malam yang mereka sebut dengan Fana’a.
Fana’a ini bertujuan untuk melindungi desa dari musuh yang mengendap-endap di malam hari. Saat terdeteksi ada musuh yang hendak menyerang, para prajurit akan memanggil prajurit lain untuk bersama-sama menyerang musuh. Mereka akan ramai-ramai menyerang dan menangkap musuh yang datang.
Setelah musuh itu tertangkap, selanjutnya kepalanya akan dipenggal untuk dipersembahkan kepada Raja. Persembahan ini disebut juga dengan Binu. Lalu Raja akan menyambut prajuritnya dengan penuh suka cita. Para prajurit juga melakukan tarian perang dan berteriak semangat dalam proses persemnahan tersebut.
Raja yang merasa senang akan mempersembahkan Rai (mahkota) untuk panglima perang. Tak hanya itu, para prajurit juga diberi emas beku sebagai hadiah telah membunuh musuh.
Namun, sekarang tarian ini sudah tidak dilakukan lagi pasca peperangan mengingat sudah tidak ada lagi perang antar suku yang terjadi di Nias. Mereka hanya melakukannya pada hari-hari tertentu, pada saat ada acara besar, atau sedang melakukan penyambutan tamu terhormat.
Tari Moyo
Berbeda dari dua budaya yang telah dijelaskan diatas dimana pelakunya adalah pria, kini ada tarian tradisional yang dilakukan oleh para wanita, bernama Tari Moyo. Tarian ini juga sering disebut juga dengan tari elang karena memang gerakannya mirip elang yang sedang terbang. Tarian ini dilakukan pada saat-saat tertentu di suku nias seperti saat ada acara besar, menyambut tamu, upacara adat, atau pernikahan.
Tari Moyo sebenarnya sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Awalnya tarian ini dilakukan di dalam istana untuk menghibur raja. Namun, seiring perkembangan zaman, masyarakat dari berbagai kalangan pun turut mempelajari dan mempraktekkannya hingga sekarang.
Dalam praktiknya, Tari Moyo dilakukan oleh wanita berpasang-pasang. Jumlahnya bisa empat atau lebih. Mereka menggunakan pakaian adat khas Nias dan diiringi musik tradisional khas Nias pula.
Dalam perkembangannya, Tari Moyo masih terus dilestarikan hingga sekarang. Gerakan, kostum, dan musiknya semakin beragam dan bervariasi. Masyarakat setempat merasa senang melestarikan kebudayaan nenek moyang mereka ini. Mereka sadar sebuah tradisi dan budaya tidak boleh hilang ditelan zaman karena tarian ini juga merupakan satu dari sekian banyak budaya yang dimiliki Nusantara.
Itulah tradisi unik yang berasal dari Suku Nias. Tentunya kesenian-kesenian di Nias ini hanya sebagian kecil dari besarnya kekayaan budaya yang dimiliki oleh Indonesia dan mereka masih sangat senang dan rutin melestarikannya. Bagaimana dengan anda? Apakah kesenian-kesenian di daerah anda masih lestari? Tentunya sebagai warga negara yang baik kita tidak boleh meninggalkan setiap tradisi dan budaya. Cintailah budaya Indonesia dengan terus melestarikannya.
Tidak ada komentar:
Write komentar